Tradisi Lomban
Upacara tradisional sedekah laut atau sering disebut juga dengan pesta lomban merupakan upacara tradisional yang diselenggarakan masyarakat Jepara khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Tradisi ini pada mulanya dipelihara dan dilaksanakan oleh masyarakat nelayan di sekitar Desa Ujung Batu, namun dalam perkembangannya tradisi ini telah menjadi milik masyarakat Jepara pada umumnya. Dari waktu penyelenggaraan dapat dikemukakan, bahwa tradisi ini merupakan puncak dan sekaligus penutup acara Syawalan yang diselenggarakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Menurut sejarahnya dari penjelasan sesepuh desa, tradisi sedekah laut ini pada mulanya merupakan kebiasaan kegiatan selamatan oleh kelompok nelayan yang ada di sekitar Kali Wiso Ujung Batu Jepara. Adapun tujuan penyelenggaraan upacara tradisi terebut sebagai ungkapan syukur dan pengharapan/permohonan pada sang “penguasa” yang “mbaurekso” laut karena mereka merasa telah mendapatkan sumber kehidupan yang berasal dari laut, dan merasa kehidupannya bergantung pada laut. Upacara tradisi ini lama kelamaan berkembang dan banyak diikuti oleh masyarakat di sekitarnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lomban yaitu:
a. Bagi masyarakat sekarang ini, lomban ucapan syukur terhadap Tuhan YME meskipun di satu sisi sebagai pelestarian budaya lama dengan mengaitkan rasa syukur tersebut yang mbaurekso laut, karena setahun penuh telah memberikan penghidupan kepada masyarakat nelayan sekaligus pengharapan agar tahun berikutnya hasil yang di peroleh mengalami peningkatan. Bahkan ada kepercayaan bahwa kalau tradisi ini di tiadakan maka akan timbul bencana yang besar di Jepara khusunya, yang akan menimpa masyarakat nelayan.
b.Perang ketupat yang menyertai upacara tradisional sedekah laut tersebut memiliki makna simbolik, yaitu menggambarkan situasi masa lalu ketika Ratu Kalinyamat (penguasa Jepara yang melegenda ) mengadakan ekspedisi ke Malaka dan di hadang oleh bajak laut hingga terjadi peperangan. Dalam antraksi tersebut digambarkan bahwa lempar-melempar ketupat dalam masyarakat nelayan menggambarkan serangan bajak laut terhadap Bupati yang digambarkan sebagai perahu Ratu Kalinyamat.
c. Sesuai dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut, dengan rangkaian kegiatan lombantersebut, tampak bahwa tradisi ini dipelihara masyarakat dan mempunyai keterkaitan dengan unsur keberanian Ratu Kalinyamat dalam berperang, terutama mengusir penjajah. Peran inilah yang mempunyai keterkaitan dengan fungsi Jepara sebagai kota pelabuhan.
Perang Obor
Satu lagi kebudayaan unik Indonesia dari daerah Jepara, persisnya di desa Tegalsambi kecamatan Tahunan. Perang Obor sebuah tradisi di Jepara yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat sekitar. Selain sebagai daya tarik wisatawan untuk datang ke daerah ini, tradisi perang obor ini ternyata bertujuan sebagai ritual tolak bala dan ucapan syukur masyarakat Tegalsambi atas panen yang melimpah. Tradisi ini dianggap sebagai doa kepada yang Maha Kuasa agar tetap dilimpahkan rejeki dan keselamatan masyarakat sekitar.
Perang obor itu sendiri adalah ritual yang dilakukan dengan cara berperang untuk saling menghantam menggunakan obor yang dibuat dari daun pisang kering dan sabut kelapa kering. Pesertanya adalah warga yang ditugaskan sebagai ‘tentara’ untuk saling berperang satu sama lain. Mereka haruslah orang yang berani dan tidak takut dengan api. Tradisi ini dilakukan turun temurun. Meskipun tidak ada tanggal pasti tradisi ini berlangsung, yang jelas tradisi ini dilakukan saat musim panen pada hari Senin Pahing sesuai kalender Jawa.
Tradisi obor ini berawal dari kisah seorang petani kaya bernama Mbah Babadan. Beliau sangat kaya raya dan memiliki banyak sekali hewan ternak. Saking banyaknya, Mbah Babadan tidak sanggup mengurus hewan ternaknya seorang diri. Akhirnya seorang warga desa menawarkan dirinya untuk mengurusi hewan ternak Mbah Babadan. Warga tersebut bernama Mbah Gemblong. Kesepakatan pun dibuat, Mbah Gemblong mengurusi hewan ternak milik Mbah Babadan.
Mbah Gemblong sangat piawai dalam mengurusi hewan ternak. Terbukti hewan ternak milik Mbah Babadan gemuk-gemuk saat diurusi oleh mbah Gemblong. Suatu hari Mbah Gemblong sedang menggembalakan hewan ternak ke tepian sungai. Di sungai Mbah Gemblong melihat banyak ikan. Karena lapar Mbah Gemblong pun menangkap dan membakar ikan tersebut untuk dimakan. Ternyata ikan-ikan disungai tadi sangat enak sehingga membuat mbah Gemblong rutin pergi ketepian sungai tersebut sehingga dia melupakan hewan ternak milik Mbah Babadan. Ternaknya pun menjadi kurus-kurus karena tidak terurus.
Mendengar hal tersebut Mbah Babadan marah dan memanggil Mbah Gemblong. Mbah Babadan kemudian memukul Mbah Gemblong dengan sabut kelapa yang sudah dibakar. Tidak terima dengan hal tu, Mbah Gemblong pun membalas dengan memukul balik Mbah Babadan. Akhirnya mereka saling memukul dengan obor hingga tanpa disadari membakar kandang ternak milik Mbah Babadan. Namun anehnya hewan ternaknya pun tidak mati melainkan justru berubah menjadi gemuk kembali. Sejak saat itulah warga percaya untuk mengusir penyakit dan bala, tradisi ini harus terus dilakukan.
Meskipun sedikit berbahaya, tradisi ini terus dilestarikan oleh warga sekitar setiap masa panen tiba. Warga pun tidak takut untuk melakukan tradisi ini meskipun menimbulkan luka bakar cukup serius bagi para peserta maupun penontonnya. Namun, mereka telah menyiapkan ramuan khusus sebagai obat luka bakar yang dipercaya mampu menyembuhkan luka tersebut. Bahkan penyembuhan dengan obat ini lebih cepat dibanding dengan obat dokter.
Tradisi perang obor ini memang sangat unik dan menantang. Terlepas benar atau tidaknya cerita dan manfaat dari tradisi ini dilakukan. Yang jelas tradisi ini harus dipertahankan dan dilestarikan karena sebagai simbol dan identitas kebudayaan Indonesia.
Festival Baratan
Menjelang Ramadhan berbagai daerah tak lepas dari pelaksanaan tradisi unik diantaranya seperti padusan di Yogyakarta, dugderan di Semarang, meugang di Aceh, dan mandi balimau di Sumatera. Ada satu lagi nih tradisi unik yang dilaksanakan di Jepara yaitu Festival Baratan.
Kata Baratan berasal dari bahasa arab yan berarti terbebas dari dosa. Ada juga yang berpendapat baratan berasal dari bahasa arab yaitu baraah yang berarti keselamatan. Tradisi ini dilaksanakan dengan maksud untuk memohon ampun kepada Allah agar terbebas dari dosa.
Festival Baratan merupakan tradisi yang digelar setiap tahun pada 15 Syaban dalam penanggalan hijriah atau 15 Ruwah dalam penanggalan jawa. Dalam festival ini masyarakat Jepara akan menyalakan opor di depan rumah dan mengarak obor keliling kampung. Selain itu, tradisi ini juga akan diisi dengan berkumpul bersama untuk berdoa di masjid. Dalam perkumpulan akan disajikan makanan dari ketan (puli) yang menjadi simbol permintaan maaf. Kegiatan berdoa bersama dipusatkan di Masjid Al Makmur yang berada di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan. Tak hanya itu saja, tradisi akan dimeriahkan dengan pertunjukkan teatrikal oleh seniman setempat dan pawai arak-arakan lampion dari halaman Masjid Al Makmur menuju pusat kecamatan. Dalam arak-arak ini, lampion tidak hanya berfungsi sebagai penerang semata tetapi juga menjadi simbol penerang hidup sehingga dapat lancar dalam menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan. Pawai juga dilengkapi dengan mengarak simbol Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin yang pernah menjadi penguasa Jepara. Hal ini dilakukan sebagai simbol penghormatan.
Tradisi ini tidak dimiliki oleh daerah lain dan hanya dapat ditemui di Jepara. Kekhasan kazanah khas Jepara ini selain memiliki daya tarik wisata lokal juga memiliki arti untuk menghormati warisan budaya leluhur.
Prasah
Di dalam sebuah pernikahan ada unsur pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita yang disebut mahar atau mas kawin, Lazimnya mahar atau mas kawin dalam sebuah pernikahan berupa uang, perhiasan emas, atau pakaian yang mewah. Namun di Desa Sidigede, Welahan, Jepara, Jawa Tengah, ada tradisi unik berkaitan dengan mas kawin atau mahar yaitu memberi mahar berupa seekor kerbau besar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita.
Dalam proses pemberianya pun unik, tidak asal diberikan tetapi kerbau diarak dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita, mula mulanya kerbau di mantrai oleh sesepuh desa agar kehilangan kendali dan merasa stres, dibantu warga yang juga berusaha membuat kerbau mengamuk dengan berbagai cara. Seperti melemparinya dengan berbagai macam jenis petasan dan juga lumpur yang basah, Meski sudah diikat di beberapa sisi dalam istilah desa “ Diberacut”, kemudian kerbau itu di arak oleh banyak orang dari anak anak, pemuda dan juga orang tua dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita, kerbau gemuk itu terus mengamuk di sepanjang jalan dan mencoba menyerang orang-orang, Puluhan orang yang memegang tali pengikat kerbau dibuat kewalahan karena kerbau itu hilang kendali. Warga Sidigde menyebut Tradisi unik tersebut “Prasah”.
Dalam proses pengarakan kerbau itu, tak sedikit membuat orang yang cidera Baik cidera ringan seperti luka luka atau cidera berat seperi patah tulang, selain cidera dari orang orang yang mengaraknya banyak pula pagar pagar rumah dipinggir jalan yang ternuat dari bamboo rusak karena amukan dari kerbau itu.
Sesampainya kerbau di rumah mempelai perempuan, kerbau ditenangkan oleh sesepuh desa dengan mantra, selain membawa kerbau sebagai mahar, dalam tradisi pasrahan pengantin di desa Sidigede, mempelai pria juga membawa seperangkat peralatan memasak lengkap serta lemari yang terbuat dari kayu jati.
Dulu, mempelai pria desa Sidigede yang akan mempersunting gadis selalu membawa kerbau berukuran besar.karena dianggap sebagai simbol kehormatan mempelai laki laki keluarganya, namun kini, seiring perjalanan waktu dan kian mahalnya harga kerbau, hanya warga kaya saja yang masih menjalankan tradisi prasah ini.
Jepara Thongtek Carnival
Jepara Thongtek Carnival disebut juga JTC adalah salah satu event atau acara rutin yang di selenggarakan Pemkab Jepara di bulan Ramadhan, untuk menjaga tradisi Thongtek di Jepara. Thongtek adalah tradisi membangunkan orang agar makan sahur, dengan cara berkeliling kampung, desa, kota dengan membunyikan alat musik tradisional yaitu Kentongan. Asal usul budaya thongtek di Jepara adalah tradisi masyarakat Jepara untuk membangunkan warga yang masih terlelap tidur agar bangun untuk makan sahur, Karena makan sahur tersembunyi pahala. Dahulu yang melakukan thongtek adalah para santri-santri pondok pesantren yang di beri tugas piket untuk membangunkan sahur dari ustadz dan Kiyainya, seiring perkembangan zaman masyarakat umum ikut berpartisipasi untuk membangunkan sahur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar